Tuhan Tidak Adil



Aku pernah berpikir –sebenarnya sering berpikir, bagaimana bisa didunia yang luas ini, dengan hutan, laut, dan emas di bawah tanah melimpah ruah, di setiap negeri masih ada cerita orang kelaparan. Sementara bisa jadi, pemimpin negeri itu ataupun orang lain dengan hirarki sosial lebih tinggi memiliki makanan lebih dari sekedar kenyang sekali  setiap harinya.

Bagaimana bisa, ada anak kecil yang tiap malam tidak bisa tidur nyenyak mendengar suara bom dan letupan senapan, sementara di sisi bumi lainnya ada anak kecil lainyang tidur nyenyak dengan kasur dan selimut tebal, sembari mendengarkan ibunya mendongeng.

Bagaimana bisa, literasi orang-orang meningkat setiap harinya namun masih ada bagian lain di ujung negara ini yang tidak bisa membaca.

Bagaimana bisa, produksi pakaian melimpah setiap berjalan waktu –pabrik - pabrik mengepul tiada henti, tetapi masih ada sekelompok anak di ujung negeri ini tidak memiliki sepatu dan pakaian layak.


Bagaimana bisa, gedung makin hari makin melangit, namun masih ada orang tidur di kamp - kamp pengungsi, pinggir sungai, dan kolong jembatan ?

Dunia semakin menuju kemajuan dan –ketidakadilan. Apakah Tuhan hanya hadir untuk pemimpin negeri, anak kecil dengan selimut tebal, orang pintar, dan orang di gedung tertinggi ?.
Lalu bagaimana dengan anak kecil tanpa sepatu ke sekolah, atau anak kecil yang tidur dengan iringan letupan senjata dan bom, apakah Tuhan tidak hadir kepada mereka ?

Aku, pernah merasa Tuhan tidak hadir padaku –saat aku memiliki kasur, selimut tebal, bertumpuk-tumpuk buku untuk dibaca, atap diatasku, dan makanan hangat di meja – hanya karena Tuhan tidak menjawab doaku yang lain. Aku, pernah bertanya kenapa kesulitan itu didatangkan padaku, saat aku melihat orang lain memperoleh kebaikan —mungkin juga orang lain melihat ku dengan pikiran ini.

Setelah akhirnya aku menemukan kata-kata yang cukup bagus dari buku miliki Susan Nolen –Woman Who Think Too Much, diceritakan seorang Alicia yang menghadapi kenyataan bahwa David –kekasihnya mengidap tumor otak di usia yang cukup muda dan prima. Alicia tidak menerima kenyataan itu dan ‘marah’ kepada Tuhan, karena merasa tidak sanggup kehilangan David. Sampai pada suatu waktu, di koridor rumah sakit tempat David di rawat, dia melihat anak kecil di kursi roda, dengan infus dan berbagai alat medis lainnya –terlihat sakit cukup parah– didorong oleh kedua orang tuanya, yang meskipun terlihat lelah, namun tetap berbincang dengan anak mereka untuk membuatnya tersenyum. Pikiran Alicia “Bagaimana bisa, aku berpikir seharusnya kesulitan tidak boleh menimpaku, sementara sebuah kesulitan terjadi pada anak kecil ini dan orang tuanya?”

Melihat orang lain juga mengalami kesulitan –mungkin tidak sama rupanya, namun pasti terasa sulit, Alicia akhirnya menerima keadaan David yang sakit dan memilih mendukungnya.


“Bagaimana bisa, aku berpikir seharusnya kesulitan tidak boleh menimpaku, sementara sebuah kesulitan terjadi pada anak kecil ini dan orang tuanya?”

Bagaimana bisa, aku berpikir seharusnya aku mendapatkan semua yang aku mau setelah berusaha, saat orang lain yang tidak aku kenal di ujung negeri dan dunia ini sedang berusaha untuk tetap bertahan hidup?

Bukankah aku menjadi terlalu kejam pada mereka ?kepada Tuhan?

Tuhan tidak adil, bisa jadi hanya perspective kita karena kita melihat ruang kosong di diri yang belum diisi. Sehingga, diri terasa tidak seimbang.

Seandainya, yang kita lihat adalah ruang yang sudah terisi maka, yang kita rasakan adalah kepemilikan.






Comments

Popular Posts