Kereta Api




Aku melihat orang - orang berdesakan di kereta, menyebrangi lautan manusia dan besi kendaraan.

Berjalan cepat nyaris berlari.

Aku melihat mereka masih muda, terlalu muda untuk melewatkan langit cerah yang nyaris tak pernah muncul di Jakarta.

Aku melihat dahi mereka berkerut, senyum tak kudapati satupun diantara ribuan mereka, aku bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan.

Aku melihat bahu mereka terlalu bungkuk, tak ada tas penuh buku disitu, apakah ada beban yang tidak bisa ku lihat?

Terkadang juga, saat sepi aku lihat mereka menangis --tanpa ada yang melihat, jauh dari keramaian.

Aku melihat beberapa dari mereka termenung di malam hari, dahi berkerut tidak nampak lagi, seluruh wajahnya tanpa ekspresi.

Setelah aku lihat lagi, ternyata selama ini mereka sendiri --di tengah keramaian.

Seperti apel merah di antara apel hijau di supermarket.

Seperti sepatu hitam, dirak yang penuh dengan sepatu warna putih.

Seperti rambut putih dikepala Ibuku 7 tahun yang lalu.

Setelah ku lihat lagi, ternyata mereka adalah aku, aku adalah mereka.

Tanpa aku sadari, aku menjejalkan diriku di kereta, memaksa masuk ke jalanan yang penuh sesak, berpakaian rapi agar diterima, dengan dahi berkerut --senyum kecut.

Jika kulihat diriku dicermin, maka ternyata aku juga bungkuk --membawa terlalu banyak batu.

Tanpa aku sadari, hari - hari terus berlalu.

Dengan pertanyaan tak terjawab : kenapa kami melakukan ini?

Tanpa aku sadari aku menua.

Dengan jawaban yang hilang : semua ini pasti berarti.

Tanpa aku sadari --tanpa mereka sadari-- aku mati berulangkali, satu, dua, tiga,-- aku ingat untuk berhitung selebihnya aku benar-benar mati.

Comments

Popular Posts